ASKEP PENYAKIT KUSTA
A. Pengertian
Penyakit kusta (Lepra : Morbus
hansen, Hamseniasis) adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit, jaringan tubuh lainnya dan sering dapat menimbulkan reaksi akut
(ekserbasi) dan dapat menimbulkan cacat (FKUI.1999). Penyakit kusta adalah
suatu penyakit kronis menular yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae. Penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi mycobacterium leprae
yang pertama menyarang saraf tepi selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian
atas. Kusta adalah penyakit menular yang banyak menyerang kulit dan syaraf.
Kusta dapat menyebabkan gangguan pada kulit, mati rasa, dan kelumpuhan pada tangan dan kaki. Selain
itu, kusta dapat menyerang sistem pernapasan atas, mata, membran selaput lendir. Kusta dapat menular
melalui kontak kulit dengan penderita atau melalui bersin
Reaksi :
Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktif
disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman yang telah mati
dengan zat yang tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
B. Epidemiologi
Penyakit Kusta
Cara-cara penularan penyakit kusta
sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar
kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada
yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
1. Melalui
sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah
mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
2. Kontak kulit
dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah
merupakan faktor yang penting. Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang
yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra
terbuka. Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau
keganasan Mocrobakterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
a. Usia :
Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa
b. Jenis
kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
c. Ras : Bangsa
Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
d. Kesadaran
sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
dengan tingkat sosial ekonomi rendah
e. Lingkungan :
Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat
C. Etiologi
M. Leprae atau Basil Hansen adalah
kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH
Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang
dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok
dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu
dingin dan tidak dapat di kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat
mengakibatkan infeksi sistemik pada binatang Armadillo.
D. . Manifestasi Klinik
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam,
tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut.
1. Adanya
bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.
2. Pada bercak
putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin
melebar dan banyak.
melebar dan banyak.
3. Adanya
pelebaran syaraf terutama pada syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus
seryta peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis
dan mengkilat.
4. Adanya
bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit.
5. Alis rambut
rontok
6. Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa)
Gejala-gejala umum pada lepra,
reaksi :
1. Panas dari
derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
2. Anoreksia.
3. Nausea, kadang-kadang
disertai vomitus.
4. Cephalgia.
5. Kadang-kadang
disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
6. Kadang-kadang
disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan hepatospleenomegali.
7. Neuritis.
Menurut WHO (1995), seseorang
didiagnosis menderita penyakit kusta apabila terdapat satu dari tanda kardinal
berikut :
1. Adanya lesi
kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat tunggal ataupun
multipel, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau
berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi
umumnya berupa makula, papul atau nodul.
2. BTA Positif.
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jaringan kulit.
Bila ragu-ragu maka dianggap sebagai
kasus dicurigai dan periksa ulang setiap 3 bulan sampai ditegakan diagnosis
kusta atau penyakit lain.
E. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke
tubuh belum diketahui pasti, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa tersering
melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan melalui mukosa
nasal.
Pengaruh M. Leprae ke kulit
tergantung factor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh
yang rendah, waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non
toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama
terdapat pada sel macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel
Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh, maka tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal
dari monosit darah, sel mononuklear, histiosit ) dan memfagositnya. Akibatnya
aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yagn progresif
(FKUI. 1997).
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh terhadap masa tunas
dilampaui tergantung pada derajat sistem immunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem immunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan
bila rendah, berkembang kearah lepromatosa.
Penyakit kusta merupakan penyakit
menular dimana cara penularannya adalah melalui kulit bersentuhan langsung
dengan penderita kusta atau melalui saluran mukosa (Adhi Djuanda. 1999)
Tipe LL : terjadi kelumpuhan system
imun seluler tinggi, macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah
diri dengan bebas merusak jaringan.
Tipe TT : fase system imun seluler
tinggi macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis
macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi
berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
F. Klasifikasi
Kusta
Menurut klasifikasi Ridley dan
Jopling
1. Tipe
Tuberkoloid ( TT )
a. Mengenai
kulit dan saraf.
b. Lesi bisa
satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,
kontrol healing ( + ).
c. Permukaan
lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis atau
tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,
sedikit rasa gatal.
d. Infiltrasi
Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon imun pejamu
yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe
Borderline Tuberkoloid ( BT )
a. Hampir sama
dengan tipe tuberkoloid
b. Gambar
Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
c. Gangguan
saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
d. Lesi satelit
( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid
Borderline ( BB )
a. Tipe paling
tidak stabil, jarang dijumpai.
b. Lesi dapat
berbentuk macula infiltrate.
c. Permukaan
lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
d. Lesi sangat
bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
e. Bisa
didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4. Tipe
Borderline Lepromatus ( BL )
a. Dimulai
makulaawalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya
b. Beberapa
nodus melekuk bagian tengah
c. Beberapa
plag tampak seperti punched out.
d. Hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat
muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
prediteksi.
5. Tipe
Lepromatosa ( LL )
a. Lesi sangat
banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak tegas
atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
1. Wajah :
dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
2. Badan :
bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan :
1. Penebalan
kulit progresif
2. Cuping
telinga menebal
3. Garis muka
kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai madarosis, intis dan
keratitis.
Lebih lanjut :
1. Deformitas
hidung
2. Pembesaran
kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
3. Kerusakan
saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
4. Penyakit
progresif, makula dan popul baru.
5. Tombul lesi
lama terjadi plakat dan nodus.
Stadium lanjut
1. Serabut
saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan
pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe
Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
a. Beberapa
macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
b. Lokasi
bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat ditemukan
makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
c. Merupakan
tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
d. Sebagian
sembuh spontan.
7. WHO membagi
menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Pansi
Basiler (PB) : I, TT, BT
b. Multi
Basiler (MB) : BB, BL, LL
Gambaran klinis organ lain
a. Mata :
iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
b. Tulang rawan
: epistaksis, hidung pelana
c. Tulang &
sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
d. Lidah :
ulkus, nodus
e. Larings :
suara parau
f. Testis :
ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
g. Kelenjar
limfe : limfadenitis
h. Rambut :
alopesia, madarosis
i. Ginjal :
glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
G.
Pemeriksaan Penunjang
1.
|
2.
Biopsi/PA
3.
Tes lepromin
4.
Serologik : ELISA,
MLPA, ML-Dipstick
H. Perawatan bila terkena penyakit kusta
Jenis luka pada penderita kusta adalah luka
lepromatosa,luka stasis, luka plantar, luka lain, luka keganasan. Prinsip
daripada pengobatan/perawatannya adalah imobilisasi dengan mengistirahatkan
kaki yang luka (misal. tongkat, bidai), merawat luka setiap hari dengan
membersihkan,membuang jaringan mati, dan menipiskan penebalan kulit yang
selanjutnya dikompres. Ada beberapa perawatan yang dilakukan :
1. Perawatan
Mata yang Tidak Tertutup Rapat (Lagoptalmus)
Perhatian, lindungi mata
tidak tertutup rapat (lagoptalmus) dari angin dan debu, serta sinar matahari
untuk mencegah mata kemerahan dan buta. Tariklah kulit di sudut mata ke arah
luar dengan jari tangan sebanyak 10 kali setiap latihan, lakukan
tiga kali sehari.
2. Perawatan
Tangan yang Mati Rasa (Anestesi)
Perhatian, lindungi tangan yang mati
rasa (anestesi) dari benda panas, benda kasar, dan benda tajam untuk mencegah
luka. Periksa telapak tangan setiap hari. Bila ada kemerahan, melepuh atau
luka, istirahatkan, dan rawat luka. Rendam, rendam tangan setiap hari
dengan air bersih dalam baskom, selama 30 menit untuk menjadikan kulit lembut. Gosok,
setelah direndam gosok kulit menebal dengan batu apung untuk menjadikan kulit
lembut. Olesi, olesi dengan minyak kelapa bersih dalam keadaan basah.
3. Perawatan
Tangan yang Bengkok (Kontraktur)
Perhatian, latih jari-jari tangan
yang bengkok tiga kali sehari, supaya jari-jari tangan tidak menjadi kaku. Rendam,
rendam tangan tiga kali sehari dengan air bersih selama 30 menit. Olesi,
olesi tangan yang bengkok dengan minyak kelapa bersih dalam keadaan basah.
Luruskan jari-jari tangan yang bengkok dengan tangan yang lain sebanyak
20 kali tiap latihan, lakukan tiga kali sehari, taruh tangan diatas paha dan luruskan jari-jari
tangan sebanyak 20 kali tiap latihan, lakukan tiga kali sehari. (Dirjend PPM
& PL.2002)
4.
Perawatan
Tangan dengan Luka
a.
Kurangi
tekanan pada tangan yang luka,
b. Luka harus selalu bersih,
c. Bila luka bau, panas dan bengkak segera ke Puskesmas.
d. Rendam, tiap
hari rendam tangan dengan air bersih selama 30 menit. Balut, balut luka
dengan kain bersih. Istirahat, istirahatkan tangan yang ada luka, jangan
gunakan unutk bekerja. (Ditjend PPM & PL.2002)
5. Perawatan Jari Kaki yang Bengkok dan Lunglai
Perhatian, luruskan jari kaki yang bengkok dan latih telapak kaki
yang lunglai supaya, jari-jari dan sendi kaki tidak menjadi kaku, mempermudah
operasi untuk meluruskan jari dan sendi kaki, kalau diperlukan nanti. Olesi,
olesi telapak kaki dengan minyak kelapa yang belum dipakai, supaya tidak mudah
luka waktu latihan. Luruskan, jari-jari kaki yang bengkok, selama empat detik, tiga
kali sehari, dan sebanyak 20 kali tiap latihan. Latihan, telapak kaki
yang lunglai dengan melingkari handuk atau sarung, dan tarik selama empat
detik, tiga kali sehari, ulangi 20 kali setiap latihan. Tekan, tekan
telapak kaki lantai / dasar yang cukup keras selama 10 menit setiap kali
latihan, dan lakukan tiga kali sehari. (Ditjend PPM & PL.2002)
I. Penatalaksanaan
Medis
Tujuan
Pengobatan
1. Menyembuhkan
penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe Pauksi basiler
yang berobat lebih dini dan teratur akan mempercepat sembuh tanpa menimbulkan
kecacatan. Akan tetapi pada penderita yang sudah mengalami kecacatan hanya
dapat mencegah cacat yang lebih lanjut.
2. Memutuskan
mata rantai penularan dari penderita terutama tipe yang menular kepada orang
lain. Pengobatan kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak
berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang dan
akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita
tipe Multibasiler ke orang lain dapat terputus.
Menurut World Healty
Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain
untuk pengobatan alternatif yaitu : ofloksasin, minosiklin dan klarifomisin,
sedangkan obat anti kusta yang banyak dipakai saat ini adalah DDS (Diamino
Diphenyl Suffone), clofazimine dan rifampizine.
1. DDS
(Diamino Diphenyl Suffone)
Bentuk
obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tab, sifat
bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan kuman
Mycobacterium Leprae Dosis : untuk dewasa 100 mg/ hari dan untuk anak-anak 1-2
mg/kg BB / hari. Efek samping jarang terjadi, tetapi biasa yang timbul adalah :
anemia hemolitik, anoreksia, nausea, vertigo, penglihatan kabur, sulit tidur
hepatitis, alergi terhadap obat DDS (Diamino Diphenl Suffone) sendiri dan
Psychosis.
2. Clofazimine
atau Lamprene
Berbentuk
kapsul warna coklat dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul, sifat
bakteriostatiknya menghambat pertumbuhan kuman Mycobacterium Leprae dan anti
reaksi (menekan reaksi). Dosis yang digunakan ialah 50 mg/hari atau selang
sehari, atau 3 x 100 mg setiap minggu. Efek samping obat ini adalah warna kulit
dapat kecoklatan sampai kehitam-hitaman tetapi dapat hilang bila pemberian obat
distop, gangguan pencernaan dapat berupa diare dan nyeri pada lambung.
3. Rifampizin
Berbentuk
kapsul atau kaplet dengan takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg, sifatnya
mematikan kuman Mycobacterium Leprae (bakteriosid). Rifampizin merupakan obat
kombinasi dengan DDS (Duamino Diphenyl Suffone) dengan dosis 10 mg / Kg BB,
diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampizin tidak boleh diberikan
secara monotheraphy karena dapat memperbesar terjadinya resistensi, efek
sampingnya yaitu kerusakan pada hati dan ginjal.
4. Prednison
Obat
ini digunakan untuk penanganan timbulnya reaksi.
5. Sulfas
Ferrosus
Obat
tambahan untuk penderita kusta yang mengalami anemia berat.
6. Vitamin
A
Obat
ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis) (Depkes RI,
2006).
7. Ofloksasin
Ofloksasin
merupakan turunan florokuinolon yang paling aktif terhadap mycobacterium
leprae, efek samping terjadi mual, muntah dan gangguan saluran pernafasan lain.
8. Minosiklin
Termasuk
dalam kelompok tetrasiklin, efek bakteriosidalnya lebih tinggi daripada
klaritomisin tetapi lebih rendah dari rifampisin
9. Klaritomisin
Merupakan
kelompok antibiotika mikrolid dan mempunyai aktifitas bakteriosidalnya terhadap
Mycobacterium pada tikus dan manusia.
J. Pencegahan penyakit kusta
Pengobatan kepada
penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai
penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang
berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh
manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam
hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya
tempat-tempat yang lembab. Menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri
juga merupakan salah satu cara pencegahan pada diri sendiri. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah
yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur
yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria
memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.
Saran yang dapat diberikan untuk mencegah luka
diantaranya : selalu memakai alas kaki, jangan berjalan terlalu lama,
berhati-hati terhadap api, air /benda panas lainnya, berhati-hati saat duduk
bersila, memeriksa keadaan kaki dan kulit apakah anda tanda-tanda kemerahan,
melepuh atau luka.
KONSEP ASUHAN
KEPERAWATAN
- Pengkajian
1. Biodata
Umur memberikan
petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa pemberian
dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan
tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien
dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan
umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh
3. Riwayat Penyakit Masa Lalu
Pada klien
dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Morbus hansen
merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (
mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah
satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
5. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
6. Pola Aktivitas Sehari-Hari
Aktifitas
sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun
kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan
pada orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan
7. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi
ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
Sistem penglihatan.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf
tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
Sistem
pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
Sistem
persarafan:
a. Kerusakan fungsi sensorik. Kelainan fungsi
sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa
pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata
mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
b. Kerusakan fungsi motorik. Kekuatan otot
tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil
(atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada
mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
c. Kerusakan fungsi otonom. Terjadi
gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.
d. Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
e. Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu),
bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan).
Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar
minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan
pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
- Diagnosa
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
2.
Gangguan rasa
nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
3.
Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh
- Intervensi
|
Diagnosa
|
Intervensi
|
Rasional
|
|
1.
Kerusakan
integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
a.
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
b.
Kriteria :
·
Menunjukkan
regenerasi jaringan
·
Mencapai
penyembuhan tepat waktu pada lesi
2.
Gangguan rasa
nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan
a.
Tujuan : setelah
dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur
hilang
b.
Kriteria : setelah
dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan nyeri
berkurang dan beraangsur-angsur hilang
3.
Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
a.
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
b.
Kriteria :
·
Menunjukkan
regenerasi jaringan
·
Mencapai
penyembuhan tepat waktu pada lesi
4.
Gangguan
konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh
a.
Tujuan : setelah
dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan
konsep diri meningkat
b.
Kriteria:
·
pasien menyatakan
penerimaan situasi diri
·
Memasukkan
perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif
|
1.
Kaji/ catat
warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
2.
Berikan
perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
3.
Evaluasi warna
lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada
jaringan sekitar
4.
Bersihan lesi
dengan sabun pada waktu direndam
5.
Istirahatkan
bagian yang terdapat lesi dari tekanan
1.
Observasi
lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
2.
Observasi
tanda-tanda vital
3.
Atur posisi
senyaman mungkin
4.
Ajarkan dan
anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
5.
kolaborasi
untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
1.
Kaji/ catat
warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka
2.
Berikan
perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
3.
Evaluasi
warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran
pada jaringan sekitar
4.
Bersihan lesi
dengan sabun pada waktu direndam
5.
Istirahatkan
bagian yang terdapat lesi dari tekanan
1.
Kaji makna
perubahan pada pasien
2.
Terima dan
akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku menarik diri.
3.
Berikan
harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang
salah
4.
Berikan
penguatan positif
5.
Berikan
kelompok pendukung untuk orang terdekat
|
Memberikan inflamasi dasar
tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi daerah yang
terdapat lesi.
menurunkan terjadinya
penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
Mengevaluasi perkembangan lesi
dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
Kulit yang terjadi lesi perlu
perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
Tekanan pada lesi bisa
maenghambat proses penyembuhan
Memberikan informasi untuk membantu
dalam memberikan intervensi.
Untuk mengetahui perkembangan
atau keadaan pasien
Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri
Dapat mengurangi rasa nyeri
menghilangkan rasa nyeri
Memberikan informasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi
daerah yang terdapat lesi.
menurunkan terjadinya
penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
Mengevaluasi perkembangan lesi
dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
Kulit yang terjadi lesi perlu
perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi
Tekanan pada lesi bisa menghambat
proses penyembuhan
episode traumatik mengakibatkan
perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
penerimaan perasaan sebagai
respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan
meningkatkan perilaku positif
dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan
berdasarkan realitas
kata-kata penguatan dapat
mendukung terjadinya perilaku koping positif
meningkatkan ventilasi perasaan
dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien
|


0 komentar:
Posting Komentar